DEFINISI
PLAGIARISME
Plagiarisme
berasal dari dua kata Latin, yang berarti plagiarius penculik, dan plagiare
yang berarti mencuri. Menurut Random House Dictionary Compact Unabridged,
plagiarisme didefinisikan sebagai “penggunaan atau imitasi dekat dari bahasa
dan pemikiran penulis lain dan representasi mereka sebagai karya asli
seseorang.” Hal ini juga dianggap sebagai pelanggaran etika ilmiah dan kekayaan
intelektual oleh banyak akademisi.
Plagiarisme dalam kata-kata sederhana mencuri bahasa dan pikiran orang lain, dan lewat itu sebagai karya asli seseorang. Ada berbagai jenis plagiarisme, membaca tentang mereka untuk memahami jenis dan cara yang dilakukan.
DASAR HUKUM PLAGIARISME
Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidaklah mengenal istilah plagiarisme atau plagiat, oleh karenanya dalam kacamata hukum plagiarisme dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran terhadap hak cipta, dalam hal ini diatur melalui ketentuan Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan ketentuan pidananya sebagaimana berikut ;
- Pasal 72 ayat (1) :
- Pasal 2 ayat (1) :
Berdasarkan hal yang diutarakan diatas, agar seorang pencipta memiliki hak cipta sebagai hak eksklusif atas ciptaannya maka terlebih dahulu harus melakukan pendaftaran ciptaan sebagaimana yang diamanatkan ketentuan Pasal 35 s/d 44 UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selain itu, yang dapat disebut sebagai pencipta, pemilik atau pemegang hak cipta, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta adalah :
A. Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal ; atau
B. Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
Oleh karenanya, merujuk kepada definisi serta dasar hukum plagiarisme atau plagiat yang ada sebagaimana dijabarkan diatas, maka secara sederhana terdapat beberapa unsur dasar untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak cipta atau tidak, antara lain :
1. Terdapat ciptaan yang dilindungi hak cipta, dimana masa perlindungannya masih berlaku ;
2. Terdapat bagian substansial dari ciptaan tersebut yang diumumkan dan/atau diperbanyak ; dan
3. Adanya pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut yang dilakukan tanpa seijin dari si pencipta atau pemegang hak cipta, dan tidak termasuk ke dalam penggunaan yang dibenarkan (fair use) menurut ketentuan UU Hak Cipta, atau dengan tidak mencantumkan keterangan yang cukup terkait sumbernya.
Manakala unsur-unsur tersebut terpenuhi maka dapatlah diindikasikan adanya pelanggaran hak cipta, namun tanpa adanya unsur-unsur tersebut seperti apapun bentuk pelanggaran yang ada tidaklah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta dan tidaklah benar apabila dipaksakan menjadi suatu permasalahan hukum.
Salah satu contoh
Cyber ethics dalam hal plagiarisme yang terjadi di Indonesia :
DOSEN LEBIH SUKA
MENJIPLAK, TAHUN LALU ADA SEKITAR 808 KASUS PLAGIARISME DI INDONESIA
Salah satu persyaratan untuk mengajukan sertifikasi dosen adalah membuat karya ilmiah atau makalah yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah, nasional, atau internasional. Namun dalam pelaksanaannya, masih banyak dosen yang melakukan plagiarisme untuk pembuatan karya ilmiahnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Djoko Santoso, saat dikonfirmasi tentang hal tersebut, mengakui masih adanya persoalan krusial dalam proses sertifikasi, salah satunya adalah masih adanya plagiarisme. Menurut data Kemendikbud, kasus plagiat atau biasa disebut copy paste (copas) pada proses sertifikasi dosen mencapai 808 kasus di tahun 2013.
Kasus plagiarisme bisa terungkap karena Kemendikbud mempunyai data lengkap karya ilmiah, makalah, dan jurnal ilmiah. Terlebih adanya sistem yang bisa mengetahui ada-tidaknya plagiarisme dalam suatu karya ilmiah.
"Jadi, kalau ada yang copas, pasti ketahuan karena kita punya sistem bagus. Disangkanya tidak tahu. Kalau ada yang ngeyel (tidak mengaku), kami punya buktinya," kata Djoko saat ditemui pada acara Pameran Elektronic Engineering Day ITB di Aula Barat Kampus ITB, Jalan Ganeca, Bandung, Selasa (3/6/2014).
Kasus-kasus yang ditemui Kemendikbud antara lain pemalsuan dokumen karya ilmiah, jurnal rakitan, jurnal bodong, artikel sisipan, label akreditasi palsu, nama pengarang sisipan, buku lama tapi sampul baru, dan nama pengarang yang berbeda.
Sebenarnya, kata Djoko, imbauan atau peringatan sudah kerap dilayangkan kepada universitas dan perguruan tinggi untuk tidak coba-coba melakukan tindakan plagiarisme karena Kemendikbud memiliki data base komplet.
"Sudah diimbau, karya ilmiah ya buat sendiri, jangan sekali-kali melakukan tindakan (copas/plagiat) yang merugikan sendiri," katanya.
Karena hal tersebut, kata Djoko, Kemendikbud membuat persyaratan khusus bagi doktoral ditingkatkan standar nasional pendidikannya. Dicontohkan, para calon doktor tersebut harus menulis di jurnal internasional minimal dua kali. Selain itu, bagi mahasiswa S3 juga ada batas minimal dan tidak ada batas maksimal. Hal ini dimaksudkan agar riset yang dilakukan benar- benar maksimal dan tidak asal-asalan. "Masa doktor hanya dua tahun, kan ngga benar," katanya.
Persoalan lain yang masih dihadapi oleh perguruan tinggi adalah masih adanya perguruan tinggi yang tingkat rasio antara dosen dan mahasiswanya tidak seimbang. Hal ini tentu menjadi pertanyaan tentang kualitas perguruan tinggi tersebut. Diakuinya, persolan tersebut lebih banyak ditemui di perguruan tinggi swasta (PTS).
"PTS yang ideal ya sudah ada. Tapi masih ada juga yang belum ideal. Bagaimana mau berkualitas kalau rasio dosen dan mahasiswanya masih tinggi," ujar Djoko.
Ia mencontohkan, ada PTS yang rasio dosen dengan mahasiswanya 1:300, bahkan ada 1:700. Menyikapi hal ini, Djoko berharap perguruan tinggi tersebut bisa segera melakukan pembenahan. Selain itu, upaya lainnya, Kemendikbud akan memperketat seleksi atau pengangkatan calon profesor.
"Untuk mencetak profesor ya tidak asal-asalan. Kalau begitu, dibubarkan saja. Karena kalau nggak benar, nantinya jadi profesor-profesoran, terus ke bawahnya jadi doktor-doktoran, magister-magisteran, sarjana-sarjanaan, terus universitasnya ya jadi universitas-universitasan," katanya. (tif)
CYBER ETHICS : PELANGGARAN KASUS PLAGIARISME
Reviewed by Literasi Digital
on
Maret 07, 2019
Rating:
Untuk penulisan paragraf dapat dilakukan dengan lebih seragam, apakah mau menjorok atau tidak, untuk membedakan sub bab/ sub judul dapat dibedakan warna atau ukuran hurufnya
BalasHapusSiap bu, makasih atas sarannya.
Hapus